Senin, 14 Juni 2010

Psikologi Sosial

Psikologi Sosial

Psikologi sosial merupakan perkembangan ilmu pengetahuan yang baru dan merupakan cabang dari ilmu pengetahuan psikologi pada umumnya. Ilmu tersebut menguraikan tentang kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungannya dengan situasi-situasi sosial. Dari berbagai pendapat tokoh-tokoh tentang pengertian psikologi sosial dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial adalah suatu studi ilmiah tentang pengalaman dan tingkah laku individu-individu dalam hubungannya dengan situasi sosial.

Sedangkan latar belakang timbulnya psikologi sosial, banyak beberapa tokoh berpendapat, semisal, Gabriel Tarde mengatakan, pokok-pokok teori psikologi sosial berpangkal pada proses imitasi sebagai dasar dari pada interaksi sosial antar manusia. Bedah lagi dengan Gustave Le Bon, bahwa pada manusia terdapat dua macam jiwa yaitu jiwa individu dan jiwa massa yang masing-masing berlaianan sifatnya.

Jiwa massa lebih bersifat primitif (buas, irasional, dan penuh sentimen) dari pada sifat-sifat jiwa individu. Berlaianan dengan Le Bon, Sigmund Freud berpendapat bahwa jiwa massa itu sebenarnya sudah terdapat dan tercakup oleh jiwa individu, hanya saja sering tidak disadari oleh manusia itu sendiri karena memang dalam keadaan terpendam. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh yang berpendapat dalam buku yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan psikologi sosial.

Pada tahun 1950 dan 1960 psikologi sosial tumbuh secara aktif dan program gelar dalam psikologi dimulai disebagaian besar universitas
Dasar mempelajari psikologi sosial berdasarkan potensi –potensi manusia, dimana potensi ini mengalami proses perkembangan setelah individu itu hidup dalam lingkungan masyarakat. Potensi-potensi tersebut antara lain:

1. kemampuan menggunakan bahasa
2. adanya sikap etik
3. hidup dalam 3 dimensi (dulu, sekarang, akan datang )

Ketiga pokok di atas biasa disebut sebagai syarat human minimum. Dengan demikian yang tidak memenuhi human minimum dengan sendirinya sukar digolongkan sebagai masyarakat. Obyek manusia mempelajari psikologi sosial adalah kegiatan-kegiatan sosial / gejala-gejala sosial. Sedangkan metode sosial antara lain : a. Metode Eksperimen, b. Metode survey, c. Metode Observasi, d. Metode diagnostik – psychis, e. Metode Sosiometri.

Sebagai ilmu yang obyeknya manusia, maka terdapat saling hubungan antara psikologi sosial dengan ilmu-ilmu lain yang obyeknya juga manusia seperti misalnya : Ilmu hukum, Ekonomi, sejarah, dan yang paling erat hubungannya adalah sosiologi. Letak psikologi sosial dalam sistematik psikologi termasuk dalam psikologi yang bersifat empirik dan tergolong psikologi khusus yaitu psikologi yang menyelidiki dan yang mempelajari segi-segi kekhususan dari hal-hal yang bersifat umum dipelajari dalam lapangan psikologi khusus. Sedangkan kedudukan psiklogi sosial didalam lapangan psikologi termasuk dalam psikologi teoritis, sedangkan psikologi sosial tergolong dalam psikologi teoritis.

Mengenai psikologi sosial terdapat pertentangan faham diantara beberapa tokoh ilmu jiwa sosial yang dalam garis besarnya dapat dikelompokan menjadi dua aliran yakni, aliran subyektifisme yang menyatakan bahwa individulah yang membentuk masyrakat dalam segala tingkah lakunya. Dan aliran kedua adalah, obyektivisme yang merupkan kebalikan dari aliran subyektivisme, bahwa masyarakatlah yang menentukan individu.

Selain dua aliran di atas, masih ada aliran yang membicarakan masalah hubungan antara individu dengan masyarakat diantaranya adalah aliran historis dan cultural personality.

Dinamika kelompok dan psikologi sosial

* Dinamika kelompok erat kaitannya dengan psikologi sosial
* Objek studi psikologi sosial mempelajari tingkah laku individu dalam hubungannya dengan situasi sosial
* Situasi sosial sangat berkaitan dengan adanya kelompok dan tingkah laku individu sangat dipengaruhi oleh kelompok

Mengapa dinamika kelompok?

Dinamika kelompok sebagai fenomena interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu dan anggota kelompok berinteraksi dalam kelompok – kelompok sosial.

Dinamika kelompok sosial :

* Dinamika : interaksi atau interdependensi antara kelompok satu dengan kelompok lain
* Kelompok : kumpulan individu yang saling berinteraksi dan mempunyai tujuan yang sama
* Dinamika kelompok merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua atau lebih anggota yang memiliki hubungan atau ikatan psikologis secara jelas antara anggota satu dengan anggota lain dan berlangsung dalam situasi yang alami.

Dinamika kelompok sosial

* Cartwright dan Zanden ( 1968 )
Dinamika kelompok itu sekumpulan individu yang mempunyai hubungan antara anggota yang satu dengan yang lain membuat mereka saling tergantung dalam tingkatan tertentu.
* Baron & Byrne
Kelompok memiliki dua ciri psikologis yaitu adanya sense of belonging dan terjadinya interdepdensi
* Forsyth ( 1983 )
Kelompok adalah dua atau lebih individu yang saling mempengaruhi melalui interaksi sosial

Fungsi dinamika kelompok

* Membentuk kerja sama yang saling menguntungkan dalam mengatasi persoalan hidup ( membentuk jejaring / networking )
* Memudahkan segala pekerjaan ( banyak pekerjaan yang tidak dapat dilakukan tanpa bantuan orang lain )
* (terjadi pembagian tugas ) : Mengurangi beban pekerjaan yang terlalu besar sehingga lebih cepat, efektif, dan efisien
* Menciptakan iklim demokratis dalam kehidupan masyarakat ( Dalam kelompok individu dapat memberikan masukan, berinteraksi dan memiliki peranan yang sama dalam masyarakat. )
»»  Silahkan Lanjut...

Hubungan psikologi sosial dengan ilmu-ilmu sosial lainnya

Hubungan psikologi sosial dengan ilmu-ilmu sosial lainnya

Serge moscovici seorang psikolog sosial perancis menyatakan bahwa psikologi sosial adalah jembatan diantara cabang-cabang pengetahuan sosial lainnya. Sebab psikologi sosial mengakui pentingnya memandang individu dalam suatu system sosial yang lebih luas dan karena itu menarik kedalamnya sosiologi, ilmu politik, antropologi, dan ekonomi. Psikologi sosial mengakui aktifitas manusia yang rentangnya luas dan pengaruh budaya serta perilaku manusia dimasa lampau. Dalam mengambil fokus ini psikologi sosial beririsan dengan filsafat, sejarah, seni dan musik. Selain itu psikologi sosial memiliki perspektif luas dengan berusaha memahami relevansi dari proses internal dari aktivitas manusia terhadap perilaku sosial. Dalam hal ini psikologi sosial misalnya mungkin mempertanyakan bagaimana keadaan orang setelah menyaksikan suatu kejadian menakutkan akan mempengaruhi arousal secara fisiologis, seperti tekanan darah dan serangan jantung. Karena perspektif ini, maka dibahas tentang persepsi, kognisi dan respon fisiologis.

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa cirikhas dari psikologi sosial adalah memfokuskan pada individu daripada kelompok atau unit.sementara ahli ilmu sosial yang lain mempergunakan analisis kemasyarakatan yakni mempergunakan faktor-faktor secara luas untuk menjelaskan perilaku sosial. Misalnya sosiologi lebih tertarik pada struktur dan fungsi kelompok. Kelompok itu dapat kecil (keluarga), atau moderat (perkumpulan mahasiswa, klub sepakbola), atau luas (suatu masyarakat).

Sementara bidang studi lain dari psikologi yang tertarik pada keunikan dari perilaku individu adalah psikologi kerpibadian. Pendekatan psikologi kepribadian adalah membandingkan masing-masing orang. Sementara pendekatan psikologi sosial adalah mengidentifikasikan respon (cara bereaksi) dari sebagian besar atau kebanyakan orang dalam suatu situasi dan meneliti bagaimana situasi itu mempengaruhi respon tersebut.

Marilah kita bandingkan ketiga pendekatan tersebut dengan menggunakan contoh yang spesifik untuk menganalisis terjadinya tindak kekerasan. Pendekatan kemasyarakatan cenderung menunjukkan adanya kaitan antara tingkat kejahatan yang tinggi dengan kemiskinan, urbanisasi yang cepat, dan industrialisasi dalam suatu masyarakat. Untuk membuktikan kesimpulan ini, mereka menunjukkan beberapa fakta tertentu : orang yang miskin lebih sering melakukan kejahatan; kejahatan lebih banyak timbul di daerah kumuh ketimbang di lingkungan elit; kriminalitas meningkat pada masa resesi ekonomi dan menurun di saat kondisi ekonomi membaik.

Sementara pendekatan individual dalam bidang psikologi yang lain (psikologi kepribadian, perkembangan dan klinis) cenderung menjelaskan kriminalitas berdasarkan karakteristik dan pengalaman criminal individu yang unik. Pendekatan ini akan mempelajari perbedaan individual yang menyebabkan sebagian orang melakukan tindak criminal, yang tidak dilakukan oleh orang lain dengan latar belakang yang sama, untuk itu, biasanya mereka memusatkan pada latar belakang individu, misalnya bagaimana perkembangan orang itu? Disiplin apakah yang diterapkan orang tuanya? Mungkin orang tua yang kasar cenderung menumbuhkan anak belajar berperilaku kasar?. Penelitian dapat dilakukan dengan membandingkan latar belakang keluarga anak yang nakal dengan yang tidak nakal. Jadi analisis semacam ini memusatkan pada bagaimana dalam situasi yang sama orang dapat melakukan perilaku yang berbeda karena pengalaman masa lalu yang unik.

Sebaliknya psikologi sosial lebih berpusat pada usaha memahami bagaimana seseorang bereaksi terhadap situasi sosial yang terjadi. Psikologi sosial mempelajari perasaan subyektif yang biasanya muncul dalam situasi sosial tertentu, dan bagaimana perasaan itu mempengaruhi perilaku. Situasi interpersonal apa yang menimbulkan perasaan marah, dan meningkatkan atau menurunkan kemungkinan munculnya perilaku agresi? Sebagai contoh, salah satu prinsip dasar psikologi sosial adalah bahwa situasi frustasi akan membuat orang marah, yang memperbesar kemungkinan timbulnya mereka melakukan perilaku agresi. Akibat situasi yang menimbulkan frustasi ini merupakan penjelasan alternative mengenai sebab timbulnya kejahatan. Hubungan itu tidak hanya menjelaskan mengapa perilaku agresif terjadi dalam situasi tertentu, tetapi juga menjelaskan mengapa faktor ekonomi dan kemasyarakatan menimbulkan kejahatan. Misalnya, orang miskin berduyun-duyun dating ke kota akan mengalami frustasi; mereka ternyata sulit mencari pekerjaan, mereka tidka dapat membeli apa yang mereka inginkan, tidak dapat hidup layak seperti yang mereka bayangkan. Dan frustasi ini merupakan sebab utama munculnya sebagian besar perilaku criminal. Psikologi sosial biasanya juga menyangkut perasaan-perasaan subyektif yang ditimbulkan situasi interpersonal, yang kemudian mempengaruhi perilaku individu. Dalam contoh ini situasi frustasi menimbulkan kemarahan, yang kemudian menyebabkan timbulnya perilaku agresif.

Kesimpulan : pada dasarnya psikologi sosial sangat berhubungan dengan ilmu sosial lain nya, dimana psikologi sosial merupakan bagian dari semua cabang ilmu sosial lainnya!
»»  Silahkan Lanjut...

Kamis, 10 Juni 2010

Sistem Politik Indonesia

Sistem Politik Indonesia

Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.

Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.

Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_politik

A. Suprastruktur dan Infrastruktur Politik di Indonesia

1. Pengertian sistem Politik di Indonesia

Sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam Negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.

politik adalah emua lembaga-lembaga negara yang tersbut di dalam konstitusi negara ( termasuk fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif ). Dalam Penyusunan keputusan-keputusan kebijaksanaan diperlukan adanya kekuatan yang seimbang dan terjalinnya kerjasama yang baik antara suprastruktur dan infrastruktur politik sehingga memudahkan terwujudnya cita-cita dan tujuan-tujuan masyarakat/Negara. Dalam hal ini yang dimaksud suprastruktur politik adalah Lembaga-Lembaga Negara. Lembaga-lembaga tersebut di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yakni MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial. Lembaga-lembaga ini yang akan membuat keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Badan yang ada di masyarakat seperti Parpol, Ormas, media massa, Kelompok kepentingan (Interest Group), Kelompok Penekan (Presure Group), Alat/Media Komunikasi Politik, Tokoh Politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya adalah merupakan infrastruktur politik, melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya. Tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakt diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat.

B. Perbedaan sistem politik di berbagai Negara

1. Pengertian sistem politik

a. Pengertian Sistem

Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang kompleks dan terorganisasi.

b. Pengertian Politik

Politik berasal dari bahasa yunani yaitu “polis” yang artinya Negara kota. Pada awalnya politik berhubungan dengan berbagai macam kegiatan dalam Negara/kehidupan Negara.

Istilah politik dalam ketatanegaraan berkaitan dengan tata cara pemerintahan, dasar dasar pemerintahan, ataupun dalam hal kekuasaan Negara. Politik pada dasarnya menyangkut tujuan-tujuan masyarakat, bukan tujuan pribadi. Politik biasanya menyangkut kegiatan partai politik, tentara dan organisasi kemasyarakatan.

Dapat disimpulkan bahwa politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan dan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu.

c. Pengertian Sistem Politik

Menurut Drs. Sukarno, sistem politik adalah sekumpulan pendapat, prinsip, yang membentuk satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain untuk mengatur pemerintahan serta melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan dengan cara mengatur individu atau kelompok individu satu sama lain atau dengan Negara dan hubungan Negara dengan Negara.

SISTEM POLITIK menurut Rusadi Kartaprawira adalah Mekanisme atau cara kerja seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik yang berhubungan satu sama lain dan menunjukkan suatu proses yang langggeng

2. Macam-macam Sistem Politik

3. Sistem Politik Di Berbagai Negara

a. Sistem Politik Di Negara Komunis :

Bercirikan pemerintahan yang sentralistik, peniadaan hak milk pribadi, peniadaan hak-haak sipil dan politik, tidak adanya mekanisme pemilu yang terbuka, tidak adanya oposisi, serta terdapat pembatasan terhadap arus informasi dan kebebasan berpendapat

b. Sistem Politik Di Negara Liberal :

Bercirikan adanya kebebasan berpikir bagi tiap individu atau kelompok; pembatasan kekuasaan; khususnya dari pemerintah dan agama; penegakan hukum; pertukaran gagasan yang bebas; sistem pemerintahan yang transparan yang didalamnya terdapat jaminan hak-hak kaum minoritas

c. Sistem Politik Demokrasi Di Indonesia :

Sistem politik yang didasarkan pada nilai, prinsip, prosedur, dan kelembagaan yang demokratis. Adapun sendi-sendi pokok dari sistem politik demokrasi di Indonesia adalah :

1. Ide kedaulatan rakyat

2. Negara berdasarkan atas hukum

3. Bentuk Republik

4. Pemerintahan berdasarkan konstitusi

5. Pemerintahan yang bertanggung jawab

6. Sistem Perwakilan

7. Sistem peemrintahan presidensiil

1. 4. Peran serta masyarakat dalam politik adalah terciptanya masyarakat politik yang “Kritis Partisipatif” dengan ciri-ciri

a. Meningkatnya respon masyarakat terhadapkebijakan pemerintah

b. Adanya partisipasi rakyat dalam mendukung atau menolak suatu kebijakan politik

c. Meningkatnya partisipasi rakyat dalam berbagai kehiatan organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan kelompok-kelompok penekan
»»  Silahkan Lanjut...

PENGANTAR ILMU KOMUNIKASI

1. Komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari
komunikator kepada komunikan melalui media terrtentu untuk
menghasilkan efek /tujuan dengan mengharapkan feedback
atau umpan balik.
2. Komponen-komponen komunikasi
a. Komunikator/Penyampai pesan/Sumber/Source
Semua proses komunikasi berasal dari sumber, yang dapat
berupa
· perorangan , jika dalam komunikasi individual atau
antar perorangan, atau seorang dengan beberapa
orang
· Suatu lembaga atau organisasi, atau orang yang
dilembagakan (komunikasi dengan media massa)
b. Pesan/Message
Unsur pesan meliputi semua materi atau isi yang
dikomunikasikan antara pihak-pihak yang terlibat dalam
proses komunikasi, baik yang disampaikan secara verbal
maupun non verbal., baik secara langsung maupun tidak
langsung (melalui media massa misalnya)
Pesan dapat berupa:
· pesan verbal, misalnya: bahasa/kata-kata lisan atau
tertulis
· pesan non verbal, misalnya: isyarat, gambar, warna
· pesan paralinguistik, misalnya: kualitas suara, tekanan
suara(tinggi rendah nada bicara), kecepatan suara,
vokalisasi
Pengantar Ilmu Komunikasi
Dosen: Ade Candra
Aufie’s scripts
5
c. Saluran/Media/Channel
Unsur saluran merupakan sarana tempat pesan yang
disampaikan sehingga bisa diterima dan dimaknai oleh
komunikan.
Misalnya: media massa (surat kabar, majalah, televisi,
radio dll.) telepon, surat,
d. Komunikan/Penerima pesan/Receiver
Unsur penerima merupakan sasaran dari komunikasi, bisa
terdiri dari seseorang atau beberapa orang atau suatu
lembaga/organisasi
e. Tujuan/Destination/Efect
Efek merupakan hasil dari suatu kegiatan komunikasi,
merupakan tujuan dari peserta-peserta di dalam proses
komunikasi
f. Umpan Balik/Feedback
Feedback merupakan tanggapan atas pesan komunikan
apabila tersampaikan atau disampaikan kepada
komunikator
g. Gangguan/Noise
Gangguan tak terncana yang terjadi dalam proses
komunikasi sebagai akibat pesan yang diterima komunikan
berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator
kepada komunikan.
Misalnya: perkuliahan yang terganggu akibat ada pesawat
terbang yang melintas rendah di atas kelas
Pengantar Ilmu Komunikasi
Dosen: Ade Candra
Aufie’s scripts
6
3. Tujuan utama komunikasi adalah untuk
membangun/menciptakan pemahamam atau pengertian
bersama. Saling memahami atau mengerti bukan berarti harus
menyetujui tetapi mungkin dengan komunikasi terjadi suatu
perubahan sikap, pendapat, perilaku ataupun perubahan
»»  Silahkan Lanjut...

Rabu, 09 Juni 2010

Filsafat Ilmu Pengetahuan

PENGERTIAN FILSAFAT

Secara epistimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang berarti kebijaksanaan. Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap kebijaksanaan (kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan). Namun pertanyaan kita selanjutnya adalah bagaimana kita mendefinisi filsafat itu sendiri? Hamersma (1981: 10) mengatakan bahwa Filsafat merupakan pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari definisi ini nampak bahwa kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan secara ilmiah guna memperoleh pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”.

Sebenarnya, pengertian tentang filsafat cukup beragam. Titus et.al (dalam Muntasyir&Munir, 2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :

  1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal).
  2. Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi (arti formal).
  3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif)
  4. Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat yang demikian ini dinamakan juga logosentris.
  5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

Ciri-Ciri Berpikir Dalam Filsafat

Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir&Munir (2002: 4-5) mengatakan bahwa ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut :

  1. Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang dipikirkan.
  2. Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak pada aspek keumumannya.
  3. Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia. Misalnya : Apakah Kebebasan itu ?
  4. Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis. Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
  5. Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
  6. Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
  7. Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.
  8. Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir sekaligus bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.

Bidang dalam Filsafat

Secara umum, bidang-bidang utama filsafat terbagi menjadi 3 bagian, yaitu metafisika, epistimologi dan aksiologi. Secara ringkas ketiga bidang tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

  1. Metafisika. Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta ta physika yang berarti segala sesuatu yang berada di balik hal-hal yang sifatnya fisik. Metafisika sendiri dapat diartikan sebagai cabang filsafat yang paling utama, yang membicarakan mengenai keberadaan (being) dan eksistensi (existence). Oleh karena itu, metafisika lebih mempelajari sesuatu atau pemikiran tentang sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Menurut Wolff, metafisika dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kategori, yaitu :
    • Metafisika Umum (Ontologi), yaitu metafisika yang membicarakan tentang “Ada” (Being).
    • Metafisika Khusus, yaitu metafisika yang membicarakan sesuatu yang sifatnya khusus. Dalam metafisika khusus ini, Wolff membagi ke dalam 3 (tiga) kategori :
      • Psikologi, yang membahas mengenai hakekat manusia
      • Kosmologi, yang membahas mengenai alam semesta
      • Theologi, yang membahas mengenai
  2. Epistimologi. Epistimologi berasal dari kata Episteme yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti teori. Oleh karena itu, epistimologi berarti teori pengetahuan. Permasalahan-permasalahan yang menjadi fokus pembicaraan epistimologi adalah asal-usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dan kebenaran, dan sebagainya. Dalam epistimologi, pengetahuan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan kebenaran.
  3. Aksiologi. Aksiologi berasal dari kata axios yang berarti nilai atau sesuatu yang berharga, dan logos yang berarti akal atau teori. Oleh karena itu, aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai. Dalam cabang ini, salah satu yang paling mendapatkan perhatian adalah masalah etika/kesusilaan. Dalam etika, obyek materialnya adalah perilaku manusia yang dilakukan secara sadar. Sedangkan obyek formalnya adalah pengertian mengenai baik atau buruk, bermoral atau tidak bermoral dari suatu perilaku manusia.

DEFENISI FILSAFAT ILMU

Menurut Beerling (1985; 1-2) filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara utnuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjuta. Dia merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat lanjutan atau secondary reflexion. Refleksi sekunder seperti itu merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang ada. Refelksi sekunder banyak memberi sumbangan dalam usaha memberi tekanan perhatian pada metodikaserta sistem dan untuk berusaha memperoleh pemahaman mengenai azas-azas, latar belakang serta hubungan-hubungan yang dipunyai kegiatan ilmiah. Sumbangan tersebut bisa berbentuk (1) mengarahkan metode-metode penyelidikan ilmiah kejuruan kepada penyelenggaaraan kegiatan ilmiah; (2) menerapkan penyelidikan kefilsafatan terhadap terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah. Dalam hal ini mempertanyakan kembali secara de-jure mengenai landasan-landasan serta azas-azas yang memungkinkan ilmu itu memberi pembenaran pada dirinya serta apa yang dianggapnya benar.

Filsafat ilmu adalah refleksi yang mengakar terhadap prinsip-prinsip ilmu. Prinsip ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang lengket didalam ilmu yang pada akhirnya memberi jawaban terhadap keberadaan ilmu. Dengan mengetahui seluk-beluk prinsip ilmu itu maka dapat diungkapkan perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan perkembangannya, keterjalinan antar ilmu, ciri penanganan secara ilmiah, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan sebagainya yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri (Suriasumantri, 1986; 301-302). Filsafat ilmu pengetahuan membahas sebab musabab pengetahuan dan menggali tentang kebenaran, kepastian, dan tahap-tahapnya, objektivitas, abstraksi, intuisi, dan juga pertanyaan mengenai “dari mana asalnya dan kemana arah pengetahuan itu?” (Verhaak & Haryono, 1989; 12-13).

Perbedaan filsafat ilmu dengan filsafat atau ilmu-ilmu lain seperti sejarah ilmu, psikologi, sosiologi, dan sebagainya terletak apada masalah yang hendak dipecahkan dan metode yang akan digunakan. Filsafat ilmu tidak berhenti pada pertanyaan mengenai bagaimana pertumbuhan serta cara penyelenggaraan ilmu dalam kenyatannya, melainkan mempermasalahkan masalah metodologik, yakni mengenai azas-azas serta alasan apakah yang menyebabkan ilmu dapat menyatakan bahwa ia memperoleh pengetahuan ilmiah (Beerling, 1985; 2). Pertanyaan seperti itu tidak dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri tetapi membutuhkan analisa kefilsafatan mengenai tujuan serta cara kerja ilmu. Pertalian antara filsafat dan ilmu harus terjelma dalam filsafat ilmu. Kedudukan filsafat iilmu dalam lingkungan fisafat secara keseluruhan adalah pertama, bahwa filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat ilmupengetahuan (epistemologi); kedua, filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-kadang filsafat ilmu dijumbuhkan denganmetodologi (Beerling, 1985; 4). Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang ilmu pengetahuan manusia. Ilmu-ilmu manusia seringkali lebih jelas masih mempunyai filsafat ilmu tersembunyi (Bertens, 1987; 21 dan Katsoff, 1986; 105-106).

HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Antara definisi filsafat dan ilmu pengetahuan memang hampir mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan lebih menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu pengetahuan masing-masing, sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum yang belum dibicarakan di dalam ilmu pengetahuan (Muntasyir&Munir,2000: 10). Walaupun demikian, ilmu pengetahuan tetap berasal dari filsafat sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan yang berdasarkan kekaguman atau keheranan yang mendorong rasa ingin tahu untuk menyelidikinya, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan.

Wibisono (1997: x) pada Artikel kunci “Gagasan Strategik Tentang Kultur Keilmuan Pada Pendidikan Tinggi”, yang mengambil pendapat H.J. Pos, beliau menandaskan bahwa abad ke-19 dan 20, dan bahkan sampai sekarang, diidentifikasi sebagai suatu abad yang ditandai oleh dominasinya peran ilmu pengetahuan dalam kehidupan umat manusia.

Dominasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia memang tidak dapat dipungkiri. Betapa tidak, dominasi ini paling kurang membawa pengaruh dan manfaat bagi manusia, atau justru berpengaruh negatif dan membawa malapetaka. Seperti yang diungkapkan oleh Ridwan Ahmad Syukri (1997: 18-19), ilmu yang berorientasi pada kepentingan pragmatis, orientasi duniawi, atau mengesampingkan yang transenden, akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan pada umumnya. Ilmu dinilai bukan karena dirinya sendiri, tetapi nilai ilmu pengetahuan berada dalam kesanggupannya membuat kehidupan lebih bernilai dan memberikan kebahagiaan, demi kebutuhan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan manusia, maka bentuk ilmu itu memberikan kemanfaatan.

Selanjutnya, dalam bukunya yang berjudul Epistemologi Dasar, J. Sudarminta mengatakan bahwa ciri-ciri hakiki pengetahuan manusia yaitu:

  1. kepastian mutlak tentang kebenaran segala pengetahuan kita memang tidak mungkin, sebab manusia adalah makhluk contingent dan fallible. Tetapi ini tidak berarti bahwa semua pengetahuan manusia pantas dan perlu dipergunakan kebenarannya. Maka, skeptisisme mutlak pantas ditolak.
  2. subjek berperan aktif dalam kegiatan mengetahui dan tidak hanya bersifat pasif menerima serta melaporkan objek apa adanya. Tetapi ini tidak berarti bahwa pengetahuan manusia melulu bersifat subjektif. Maka, subjektivisme radikal juga pantas disangkal.
  3. pengetahuan manusia memang bersifat relasional dan kontekstual, tetapi itu tidak berarti bahwa objektivitas dan universalitas pengetahuan menjadi tidak mungkin. Menurut Sudarminta (2002: 60) pelbagai bentuk relativisme ilmu pengetahuan, walaupun punya sumbangan yang berharga, merupakan suatu pandangan tentang pengetahuan yang tidak bisa diterima.

DASAR-DASAR ILMU PENGETAHUAN

Aristoteles mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Tetapi jauh sebelum Aristoteles, Socrates mengatakan hal yang nampaknnya bertentangan dengan ungkapan Aristoteles tersebut, yaitu bahwa tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai pengetahuan (Hadi, 1994: 13). Kontradiktif ini tidak perlu diperdebatkan. Sebab menurut Plato bahwa filsafat dimulai dengan rasa kagum. Kekaguman filosofis ini bukanlah kekaguman akan hal-hal yang rumit, canggih atau kompleks, tetapi justru kekaguman akan sesuatu yang sederhana yang tampaknya jelas dalam pengalaman sehari-hari.

Hadi (1994: 14-15) menyatakan kekaguman dalam hal ini adalah mempertanyakan hal-hal yang ada dihadakan kita, yang dalam anggapan umum dianggap telah diketahui. Oleh karena itu seseorang harus tahu apa yang dicarinya dan berusaha untuk menemukan apa yang dicari tersebut, demikian menurut Plato.

Pengetahuan filosofis ingin menarik diri dari apa yang dianggap sebagai kejelasan umum untuk kembali ke dalam sesuatu yang eksistensial dalam keadaan aslinya. Karenanya, seorang filsuf tidak ada henti-hentinya bertanya. Pernyataan Socrates dan Aristoteles terkesan bertentangan, padahal sebenarnya tidak. Menurut Aristoteles, semua orang dari kodratnya ingin tahu, dan langkah pertama untuk mencapai pengetahuan itu adalah kesadaran socrates bahwa tidak ada seorang pun yang sudah tahu. Untuk mencapai pengetahuan, Bernard Paduska&R. Turman Sirait ( 1997: 5), seseorang harus sadar bahwa ia “belum tahu” dan karena itu ia “ingin tahu”. Dalam redaksi berbeda, namun dapat disetir menjadi satu makna, bahwa menurut filsafat eksistensialisme anda adalah anda karena anda menghendaki demikian.

Dengan uraian di atas, kita dapat melihat adanya dua macam bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan harian atau penggetahuan biasa (common sense) dan pengetahuan ilmiah. Dalam filsafat, pengetahuan biasa sering dianggap sebagai pengetahuan inderawi, sedangkan pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan berdasarkan akal budi (intelektif).

Korelasi pengetahuan indrawi dan pengetahuan intelektif membentuk dasar dalam perkembangan ilmu pengetahuan secara global. Sejarahnya telah terukir, betapa dua konsep dasar ini menjadi cikal-bakal yang meletakkan dasar konsep ilmiah. Keilmuan yang ilmiah dapat lahir dari pengamatan yang mendalam tentang semua objek, tetapi juga dasar ilmiah dapat dibangun dari perenungan yang jernih dan mendalam, terukur dan dapat dianalisa, sistematis serta dapat dipelajari, itulah sebagian konsep ilmiah.

Socrates adalah tokoh yang sangat diperhitungkan, meskipun ia tidak secara langsung bicara tentang kebenaran ilmiah. Ketika itu Socrates berhadapan dengan kaum sofis. Filsafat Socrates bahkan sering disebut sebagai reaksi terhadap kaum sofis. Bagi Socrates, kebenaran objektif itu ada, dan bukan hal yang berbau teoritis tapi hidup praktis. Menurutnya, tidak sembarang tingkah laku disebut baik, ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang kurang baik; ada tindakan yang pantas dan ada tindakan yang jelek. Dengan ini socrates meletakkan dasar berkembangnya gagasan tentang adanya kebenaran, kemudian dilanjutkan dengan oleh Plato. Bagi Plato kebenaran adalah sesuatu yang terdapat pada apa yang dikenal, atau pada apa yang dikejar untuk dikenal . Hal ini sesuai dengan ajaran Plato mengenai idea-idea, bahwa realitas yang sesungguhnya berada didalam dunia idea sedangkan realitas inderawi hanyalah bayang-bayang (Bertens K, 1991: 110-111).

Menurut Wibisono dalam makalahnya mengatakan, Sejalan dengan perkembangan filsafat, ilmu pengetahuan pun berkembang dengan pesatnya. Dalam perjalanan selanjutnya, terdapat fenomena adanya suatu konfigurasi yang menunjukkan tentang bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” itu telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang-filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.

Berkaitan dengan ilmu-ilmu, pengetahuan yang dicari dan diperoleh sering disebut dengan istilah pengetahuan ilmiah. Menurut Bahm ( 1980: 1) ada lima unsur pokok dalam suatu pengetahuan yang disebut ilmiah yaitu masalah, sikap, metode, aktivitas, kesimpulan dan pengaruh tertentu. Aristoteles menguraikan sistem berpikir ilmiah yang dikenal dengan logika. Menurut Aristoteles terdapat sepuluh kategori yang berkaitan dengan pengertian, yaitu substanti, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, dan menderita.

Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang sudah dipertanggung-jawabkan secara ilmiah atau diperoleh dengan metode ilmiah. Sebaliknya, pengetahuan sehari-hari yang tidak atau belum dipertanggungjawabkan secara ilmiah disebut pengetahuan pra-ilmiah (Lorens, 1996: 806). Salah satu ciri pengetahuan ilmiah adalah adanya anggapan bahwa pengetahuan ilmiah itu berlaku ilmiah. Mengeni apakah sesuatu dapat atau tidak disebut ilmiah tidak tergantung pada faktor-faktor subjektif. Bisa saja orang berbeda pendapat tentang dasar pembenaran suatu teori, tetapi hal tersebut hanya menunjukkan bahwa faktor-faktor objektif yang bersangkut paut dengan persoalan tadi tidak atau masih dapat membuahkan hasil yang tidak bermakna ganda (ambiguitas). Adanya saling pengaruh antara sifat dan kadar pengetahuan ilmiah dengan sarana-sarana untuk mencapainya mengakibatkan pergeseran-pergeseran, pengertian “ilmiah” sepanjang sejarah. Namun demikian perkembangan ilmu secara mandiri harus dapat dipertahankan.

Menurut Beerling,dkk (1996: 6-7) secara spesifik ada tiga macam pengenalan dari pengetahuan yang disebut ilmiah. (1) pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang mempunyai dasar pembenaran. Setiap pengetahuan ilmiah harus punya dasar pembenaran berdasarkan pemahaman-pemahaman yang dapat dibenarkan secara apriori serta secara empiris melalui penyelidikan ilmiah yang memadai. (2) pengetahuan ilmiah bersifat sistematis. Penyelidikan ilmiah tidak membatasi diri hanya pada satu bahan saja, tapi senantiasa mencari hubungan dengan sejumlah bahan lainnya dan berusaha agar hubungan-hubungan itu merupakan suatu kebulatan. (3) pengetahuan ilmiah itu adalah bersifat inter-subjektif. Kepastian pengetahuan ilmiah tidak didasarkan atas intuisi-intuisi serta pemahaman orang perorangan yang subjektif, melainkan dijamin oleh sistemnya sendiri. Pengetahuan ilmiah haruslah sedemikian rupa sehingga dalam setiap bagiannya dan dalam bagian yang menyeluruh dapat ditanggapi oleh subjek-subjek lain. Terhadap hasil penyelidikan dimungklinkan ada kesepakatan yang bersifat inter-subjektif.

Di samping apa yang sudah diuraikan di atas, menurut Sudarminta (2002: 32-44) perlu ditambahkan juga bahwa dasar-dasar pengetahuan itu tidak lepas dari peran pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa, dan kebutuhan hidup manusia .

CARA MENCAPAI KEBENARAN

Dalam sejarah kehidupan, manusia selalu berusaha untuk mencari kebenaran. Dan sepanjang sejarah itu pula perdebatan mengenai arti dan cara mencapai kebenaran diperdebatkan.

Zaman Yunani Kuno

Diawali oleh Socrates ( ± 469-399) sebagai tokoh yang patut disebut mengawali pembicaraan mengenai kebenaran. Meskipun tidak secara langsung berbicara mengenai kebenaran ilmiah tetapi ia tidak menyetujui relativitas yang terdapat pada kaum sophis. Menurutnya terdapat kebenaran objektif, ada kelakuan yang baik dan ada kelakuan yang tidak baik; ada tidakan yang pantas dan ada yang tidak pantas. Socrates telah meletakkan dasar bagi berkembangnya gagasan tentang adanya kebenaran (Bertens, 1991; 86). Pendapat Socrates dilanjutkan oleh Plato (427-322 SM). Menurut Plato kebenaran merupakan ketak-tersembunyian adanya. Hal ini berarti selama kita masih terikat pada yang ada (the being) saja tanpa masuk adanya dari yang ada itu kita belum berjumpa dengan kebenaran karena adanya (being) itu masih tersembunyi. Barulah dengan hilangnya atau diambilnya selubung yang menutup adanya dari yang ada itu terhadap mata batin kita, maka terbukalah adanya dan serentak dengan itu tampillah kebenaran (Verhaak & Haryono, 1991; 126).

Aristoteles (384-322) lebih melihat kebenaran dari cara yang dipakai pengenal melalui suatu sistem berfikir ilmiah yang dikenal dengan logika. Berkaitan dengan ini dia mengemukakan bahwa cara berfikir ilmiah itu terdiri dari pengertian, petimbangan, dan penalaran. Menurutnya, pengertian mengngkapkan adanya 10 kategori yaitu substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, keadaan, mempunyai, berbuat, menderita. Segala pengertian dapat digabungkan sehingga membentuk suatu pertimbangan. Dengan petimbangan tersebut dapat digabungkan sehingga menghasilkan silogisme (Hadiwiyono, 1980; 45-47).

Zaman Abad Pertengahan

Tokoh yang patut disebut ddalam abad pertengahan ini adalah Thomas Aquinas (1224-1274). Thomas Aquinas mendefinisikan kebenaran sebagai “adequatio rei et intellectus” yaitu kesesuaian, kesamaan pikiran dengan hal, benda. Oleh karena itu kebenaran merupakan istilah transendental yang mengena kepada semua yang ada; dalam arti tertentu kebenaran bukanlah suatu pernyataan tentang cara hal-hal berada tetapi melulu hal-hal itu sendiri (Bagus, 1996; 415).

Menurut Wibisono (1999) pada zaman abad pertengahan ini kita tidak bisa melupakan para filsuf Arab seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Al-Ghazaly. Mereka telah menyebarkan filsafat Aristoteles ke Cordova Spanyol dan kemudian diwariskan serta dikembangkan oleh para kaum Patristik dan Skolastik di dunia barat sehingga tepat apabila dikatakan jika orang-orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah dan orang Muslim adalah Bapak angkatnya.

Zaman Modern

Pada zaman modern ini diwarnai dengan timbulnya aliran-aliran tentang perolehan ilmu pengetahuan atau kebenaran ilmiah. Diantaranya adalah Rasionalisme, Empirisme dan Kritisisme. Tiga tokoh besar yang mewakili ketiga aliran tersebut adalah Rene Descartes, David Hume, dan Immanuel Kant.

Rasionalisme

Aliran rasionalisme ini secara luas merupakan pendekatan filosofis yang menekankan adanya akal budi atau rasio sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi (Hadiwiyono, 1980, 2; 18).

Peletak dasar dari aliran ini adalah Rene Descarte (1596-1650). Menurut Descartes, cara untuk membedakan ada tidaknya kebenaran adalah ada tidaknya ide yang jelas dan terpilah-pilah mengenai sesuatu (idea clara et distincta). Akibat pernyataan itu lebih lanjut adalah isi ide yang jelas dan terpilah-pilah itu menjadi benar sehingga kebenaran disamakan dengan idea tersebut. Idea itu pertama-tama terdapat dalam subjek pengetahuan, maka kebenaran-pun demikian, tanpa ada hubungan dengan dunia luar, maka kebenaran hanya sebagai suatu kesimpulan dari adanya kebenaran dalam idea tersebut. Terwujudnya kebenaran ditegaskan sebagai suatu kenyataan (Hadiwiyono, 1980; 18).

Empirisme

David Hume – sebagai tokoh peletak dasar bagi empirisme – menolak rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan sejati berasal dari rasio. Sanggahan Hume ini secara konsekuen terdapat dalam penjelasannya tentang tidak adanya substansi dalam kesadaran kita. Baginya kesatuan ciri-ciri yang disebut substansi oleh rasionalisme hanyalah fiksi, sekumpulan kesan-kesan (a bundle of collection of perception), substansi hanyalah sekumpulan persepsi saja. Menurutnya hakekat ide-ide itu selalu empiris (Yumartana, 1993; 21).

Aliran empirisme secara umum merupakan aliran filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi satu0satunya sumber pengetahuan baik pengalaman lahiriyah atau batiniyah. Informasi yang disajikan kepada kita berguna secara fundamental sebagai ilmu pengetahuan. Akal budi tidak dapat memberikan kepada kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita (Bagus, 1996; 31-38)

Kritisisme

Immanul Kant adalah peletak dasar dari aliran kritisisme. Dalam arti luas, kritisisme merupakan sebuah epistemologi yang menempatkan akal budi sebagai nilai yang amat tinggi tetapi akal budi memiliki keterbatasan. Oleh karena itu Kant mencoba mendamikana rasionalisme dengan empirisme dengan berpendapat bahwa pengetahuan bersifat sintesis. Pengetahuan inderawi atau empirisme merupakan sintesis dari pengamatan ruang dan waktu. Kemudian pengetahuan akal merupakan sintesis pengetahuan. Implikasinya yang dihasilkan bukanlah pengetahuan das ding an sich, untuk itu rasio dan akal budi memberi arah kepada akal ketika tidak mampu mengetahuinya. Kant menyebutnya sebagai idealisme transdental atau idealiseme kritis (Hadiwiyono, 1980, 2; 63-82).

Positivisme

Abad ke-19 dapat diakatakan sebagai abad positivisme – dengan tokohnya Auguste Comte (1798-1857) -, karena pengaruh aliran ini demikian kuatnya dalam dunia modern. Filsafat menjadi praktis bagi tingkah laku manusia sehingga tidak lagi memandang penting berfikir yang bersifat abstrak (Wibisono, 1996;1).

Positivisme kata kuncinya terletak pada kata positif itu sendiri yaitu lawan dari kahayal, merupakan sesuatu yang riil dan objek penyelidikannya didasarkan pada kemampuan akal (Wibisono, 1996; 37). Kata positif juga lawan dari sesuatu yang tidak bermanfaat dan disinilah terjadi progress (kemajuan). Positif juga berarti jelas dan tepat. Disinilah diperlukan filsafat yang mampu memberi atau mebeberkan fenomena dengan tepat dan jelas. Positif juga lawan dari kata negatif dan ada keterkaitan selalu dengan masalah yang menuju kepada penataan atau penertiban.

Penggilongan ilmu pengetahuan oleh Comte didasarkan kepada sejarah ilmu itu sendiri yang menunjuk adanya gejala yang umum yang mempunyai sifat sederhana menuju kepada gejala yang komplek dan semakin konkret. Ilmu-ilmu yang dimaksud adalah ilmu pasti (matematika) dan secara berturut-turut astronomi, fisika, kimia, biologi, dan akhirnya fisika sosial atau sosiologi (Wibisono, 1996; 25). Penggolongan tersbut menyaratkan adanya perkembangan ilmu yang lambat dan cepat. Yang paling cepat perkembangannya adalah yang sederhana dan umum objeknya. Dan ada yang paling lambat perkembangannya adalah yang paling kompleks objek permasalahannya, misalnya fisika sosial.

Sejarah manusia berkembang menurut tiga tahap yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau riil (Wibisono, 1996; 11). Tahap teolohi atau fiktif merupakan tahap dimana manusia menggambarkan fenomena alam sebagai produk dari tindakan langsung, hal yang berifat supranatural. Pada tahap ini manusia mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada dengan selalu mengkontekstualisasikan dengan hal yang sifatnya mutlak.

Tahap metafisik merupakan tahap dimana kekuatan-kekuatan supranatural digantikan oleh kekuatan yang bersifat abstrak, yang dipercaya mampu mengungkapkan rahasia fenomena yang dapat diamati. Dogma-dogma telah ditingglakan dan kemampua akal budi manusia dikembangkan secara maksimal sehingga kekuatan yang bersifat magis digantikan dengan analisis berfikir untuk membedakan yang natural dan supranatural, yang fisik dan metafisik sehingga manusia berperan sebagai subjek yang berjaraak dengan objek. Comte menggambarkan sebagai tahap perkembangan manusia dari sifat ketergantungan menuju sifat mandiri atau dewasa. Tahap ini merupakan masa peralihan yang penuh konflik dan merupakan tahap yang menentukan menuju tahap positivisme.

Tahap ketiga adalah postivisme yaitu orang mulai menoleh, mencari sebab-sebab terakhir dari kejadian alam, kemudian berubah kepada penemuan hukum-hukum yang menyelimuti dengan menggunakan pengamatan dan pemikiran. Tahap ini merupakan tahap science dengan tugas pokok memprediksi fenomena alam dalam rangka memanfaatkannya. Manusia telah sampai pada pengetahuan yang positif yang dapat dicapai melalui observasi, eksperimen, komparasi dan hukum-hukum umum. Pengetahuan yang demikian menunjuk pada pengetahuan yang pasti, riil, jelas dan bermanfaat.

Comte dengan ilmu pengetahuan positifnya, yang pada tahap akhir perkembangan akal budi manusia menjadi pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan kenegaraan untuk menuju masyarakat yang maju dan tertib, merdeka dan sejahtera. Bangunan ilmu pengetahuan positif itu adalah sebagai berikut.

Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif (bebas nilai dan netral). Objektivitas pengetahuan berlangsung dari dua pihak, pihak subjek dan objek. Pada pihak subjek seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam dirinya sendiri misalnya sentimen, penilaian etnis, kepentingan pribadi atau kelompok, kepercayaan agama, filsafat dan lain sebagainya yang bisa mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diamati. Pada pihak objek, aspek-aspek dan dimensi-dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam onservasi misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditolerir keberadannya. Laporan atau teori-teori ilmiah hanya menjelaskan fakta-fakta dan kejadian-kejadian yang dapat diobservasi saja.

Asumsi kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulangkali terjadi. Andaikata ilmu pengetahuan hanya diarahkan kepada hal-hal unik, yang hanya sekali saja terjadi, maka pengetahuan itu tidak dapat membantu kita untuk meramalkan atau emamstikan hal-hal yang akan terjadi. Padhal rmalan atau prediksi merupakan suatu tujuan terpenting ilmu pengetahuan.

Asumsi ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan antar hubungannya dengan fenomena-fenomena lain. Mereka diandaikan saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Perhatian ilmuwan bukan diarahkan kepada hakekat dari gejal-gejala melainkan pada relasi-relasi luar khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda, gejala-gejala atau kejadian-kejadian.

Usaha Comte untuk merumuskan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat positif, objektif, ilmiah, dan universal pada akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti, dan studinya yang mendalam tentang hal ini mendorong dia pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat kebenaran yang tertinggi, bebas dari penilaian-penilaian subjektuf dan berlaku universal. Oleh sebab itu suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai dengan pertimbangan ilmu pasti (matematika dan statistika) adalah non-sense belaka. Tanpa ilmu pasti ilmu pengetahuan akan kembali menjadi metafisika (Abidin, 2000; 121-124).

Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan

tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya, serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-indera yang membuahkan pengetahuan.
Objek telaah Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis dan individu-individu.
Dari pembahasannya memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Materialisme;
Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang ada.
2. Idealisme (Spiritualisme);
Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme, yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang lebih hakiki dibanding materi.
3. Dualisme;
Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada (kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.
4. Agnotisisme.
Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula tidak.
B. Epistemologi
Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.
Dalam epistemologi muncul beberapa aliran berpikir, yaitu:
1. Empirisme;
Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman inderawi.
2. Rasionalisme;
Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi akal berada diatas pengalaman inderawi dan menekankan pada metode deduktif.
3. Positivisme;
Merupakan sistesis dari empirisme dan rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari empirisme, namun harus dipertajam dengan eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan validitas dan reliabilitas pengetahuan.
4. Intuisionisme.
Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap dan unik.
C. Aksiologi
Aksiologi adalah filsafat nilai. Aspek nilai ini ada kaitannya dengan kategori: (1) baik dan buruk; serta (2) indah dan jelek. Kategori nilai yang pertama di bawah kajian filsafat tingkah laku atau disebut etika, sedang kategori kedua merupakan objek kajian filsafat keindahan atau estetika.
1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (moral philosophy), yang berasal dari kata ethos (Yunani) yang berarti watak. Moral berasal dari kata mos atau mores (Latin) yang artinya kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia istilah moral atau etika diartikan kesusilaan. Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia, sedang objek formal etika adalah kebaikan atau keburukan, bermoral atau tidak bermoral.
Moralitas manusia adalah objek kajian etika yang telah berusia sangat lama. Sejak masyarakat manusia terbentuk, persoalan perilaku yang sesuai dengan moralitas telah menjadi bahasan. Berkaitan dengan hal itu, kemudian muncul dua teori yang menjelaskan bagaimana suatu perilaku itu dapat diukur secara etis. Teori yang dimaksud adalah Deontologis dan Teologis.
a. Deontologis.
Teori Deontologis diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant, yang terkesan kaku, konservatif dan melestarikan status quo, yaitu menyatakan bahwa baik buruknya suatu perilaku dinilai dari sudut tindakan itu sendiri, dan bukan akibatnya. Suatu perilaku baik apabila perilaku itu sesuai norma-norma yang ada.
b. Teologis
Teori Teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah dari perilaku itu lebih banyak untung daripada ruginya, dimana untung dan rugi ini dilihat dari indikator kepentingan manusia. Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu egoisme dan utilitarianisme (utilisme). Tokoh yang mengajarkan adalah Jeremy Bentham (1742 – 1832), yang kemudian diperbaiki oleh john Stuart Mill (1806 – 1873).
2. Estetika
Estetika disebut juga dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty), yang berasal dari kata aisthetika atau aisthesis (Yunani) yang artinya hal-hal yang dapat dicerap dengan indera atau cerapan indera. Estetika membahas hal yang berkaitan dengan refleksi kritis terhadap nilai-nilai atas sesuatu yang disebut indak atau tidak indah.
Dalam perjalanan filsafat dari era Yunani kuno hingga sekarang muncul persoalan tentang estetika, yaitu: pertanyaan apa keindahan itu, keindahan yang bersifat objektif dan subjektif, ukuran keindahan, peranan keindahan dalam kehidupan manusia dan hubungan keindahan dengan kebenaran. Sehingga dari pertanyaan itu menjadi polemik menarik terutama jika dikaitkan dengan agama dan nilai-nilai kesusilaan, kepatutan, dan hukum.

BAB 1
ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI

“Aku datang – entah dari mana,
aku ini – entah siapa,
aku pergi – entah kemana,
aku akan mati – entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).

1. Manusia bertanya

Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:

“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?” — Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.

Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:

“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? — Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”

2. Manusia berfilsafat

Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (”bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.

Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).

Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).

Al-Kindi (801 – 873 M) : “Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia … Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran”.

Unsur “rasional” (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan “secara mendasar” pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut “secara mendasar” karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari (”obyek material”), yaitu “manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat”. Itulah scientia rerum per causas ultimas — pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

Karl Popper (1902-?) menulis “semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup”. Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan “berfikir” = “to think” (Inggeris) = “denken” (Jerman), maka – menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam “berfikir” sebenarnya kita “berterimakasih” = “to thank” (Inggeris) = “danken” (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.

Menarik juga untuk dicatat bahwa kata “hikmat” bahasa Inggerisnya adalah “wisdom”, dengan akar kata “wise” atau “wissen” (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah “viten”, yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta “vidya” yang diindonesiakan menjadi “widya”. Kata itu dekat dengan kata “widi” dalam “Hyang Widi” = Tuhan. Kata “vidya” pun dekat dengan kata Yunani “idea”, yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.

Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:

Aras abstraksi pertama – fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (”hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (”physos” = alam).

Aras abstraksi kedua – matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (”hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (”matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).

Aras abstraksi ketiga – teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-”abstrahere” dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.

3. Manusia berteologi

Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.

Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata “sama” itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.

Catatan.

(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal (”‘aql”) dan kata ilmu (”‘ilm”) telah digunakan dalam teks Al Qur’an. Kedekatan kata ‘ilm dengan kata sifat ‘alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti. Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, “Al-Qur’an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan”, Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata “ilmu” itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata “ilmu” dalam teks dan konteks Al-Qur’an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan “dari bawah”. Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan “dari atas” nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas “sapaan” Allah itu.

Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: “aku tahu kepada siapa aku percaya” (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur “intellectus quaerens fidem” (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.

4. Obyek material dan obyek formal

Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi – filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.

Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.

Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.

Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.

5. Cabang-cabang filsafat

5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, … Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:

1. filsafat tentang pengetahuan:
obyek material : pengetahuan (”episteme”) dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika umum (ontologi);
metafisika khusus:
antropologi (tentang manusia);
kosmologi (tentang alam semesta);
teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.

5.2. Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?

Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika (”logikos”) “berhubungan dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.

Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.

5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, … dan sebaginya.

5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap “takut-dan-taqwa”, wedi-lan-asih ing Panjenengane.

Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.

Catatan lain.

1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu”. Tahukah saudara akan kadar keimanan saya?

2. Sekaligus juga patut ditanyakan “dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah “hati” itu (misalnya dalam kata “sakit hati” jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata “sakit hati” karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit. Periksa pula apa yang tersirat dalam kata “batin”, “kalbu”, “berhati-hatilah”, “jantung hati”, “jatuh hati”, “hati nurani”, dan “suara hati”.

3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata. Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah (”clearly and distinctly”), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.

6. Refleksi rasional dan refleksi imani

Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel — bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai “bangsa terpilih”, mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.

Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang disebut “negara Israel”.

Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi). Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.

Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.

Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud “ilmu kedokteran alternatif” tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra “kaliber dunia” dari anak benua India. Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari.

Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk “mokhsa”, pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-”dharma yuddha”, perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah “a man of action” (”karma yogin”), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi “mokhsa” melalui “perjuangan” yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama. Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.

Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan.

Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: “Manunggaling Kawula Gusti” (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1871556-pengantar-filsafat/

Ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan

tertentu sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam arti sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Suatu keharusan bagi ilmuwan memiliki moral dan akhlak untuk membuat pengetahuan ilmiah menjadi pengetahuan yang didalamnya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Disamping itu, pengetahuan yang sudah dibangun harus memberikan kegunaan bagi kehidupan manusia, menjadi penyelamat manusia, serta senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan alam. Di sinilah letak tanggung jawab ilmuwan untuk memiliki sikap ilmiah.
Para ilmuwan sebagai profesional di bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral, yang dalam filsafat ilmu disebut sebagai sikap ilmiah, yaitu suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif, yang bebas dari prasangka pribadi, dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan kepada Tuhan.
Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya ada enam, yaitu:
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dan menghilangkan pamrih.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti ( conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset. Dan riset atau penelitian merupakan aktifitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu bagi kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia.
Secara terminologi, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik dan buruk. Yang dapat dinilai baik dan buruk adalah sikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata dan sebagainya. Dalam etika ada yang disebut etika normatif, yaitu suatu pandangan yang memberikan penilaian baik dan buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak.
Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan yang mempunyai pengaruh pada proses perkembangannya lebih lanjut. Tanggung jawab etika menyangkut pada kegiatan dan penggunaan ilmu. Dalam hal ini pengembangan ilmu pengetahuan harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan ekosistem, bersifat universal dan sebagainya, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia dan bukan untuk menghancurkannya. Penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dapat mengubah suatu aturan alam maupun manusia. Hal ini menuntut tanggung jawab etika untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan tersebut merupakan hasil yang terbaik bagi perkembangan ilmu dan juga eksistensi manusia secara utuh.

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1862517-filsafat-ilmu-perkembangannya-di-indonesia/

http://wangmuba.com/2009/04/20/filsafat-ilmu-dan-ilmu-pengetahuan-sebagai-jalan-menuju-kebenaran/

»»  Silahkan Lanjut...

JENIS KOMPUTER

jenis komputer berdasakan data yang diolah

BERDASARKAN JENIS DATA YANG DIOLAH

Komputer Analog
Komputer ini merupakan komputer yang digunakan untuk menerima sinyal analog, biasanya digunakan untuk melakukan pengecekan untuk data yang tidak berbentuk angka, karena data yang didapatkan adalah data yang bersifat gelombang. Komputer ini biasanya digunakan untuk mempresentasikan suatu keadaan. Sebagai contoh, komputer ini digunakan untuk melakukan pengecekan suhu, penghitung aliran BBM pada SPBU, mengukur kekuatan cahaya, dan lain-lain. Komputer ini banyak digunakan untuk kegiatan ilmiah.

Komputer Digital
Komputer ini merupakan komputer yang kebanyakan yang kita kenal. Data yang diterimanya adalah data yang sudah berupa data digital. Sedangkan fungsinya digunakan untuk mengolah data yang bersifat kuantitatif dalam bentuk angka, huruf, tanda baca dan lain-lain.

Komputer Hybrid
Merupakan komputer yang memiliki kemampuan dari komputer analog dan komputer digital. Komputer jenis ini diperuntukkan untuk pengolahan data yang sifatnya baik kuantitatif maupun kualitatif, dengan perkataan lain data kuantitatif yang diolah menghasilkan data kualitatifnya dan sebaliknya.

BERDASARKAN PROCESSOR

Microcontroller

Microcontroller memiliki semua peralatan pokoknya sebagai sebuah komputer dalam satu chip. Peralatan tersebut diantaranya adalah:

* pemroses (processing)
* Memori,
* Input dan output

Kadangkala pada microcontroller ini beberapa chip digabungkan dalam satu papan rangkaian. Perangkat ini sangat ideal untuk mengerjakan sesuatu yang bersifat khusus, sehingga aplikasi yang diisikan ke dalam komputer ini adalah aplikasi yang bersifat dedicated. Jika dilihat dari harga, microcontroller ini harga umumnya lebih murah dibandingkan dengan komputer lainnya, karena perangkatnya relatif sederhana. Contoh alat ini diantaranya adalah komputer yang digunakan pada mobil untuk mengatur kestabilan mesin, alat untuk pengatur lampu lalu lintas.

Microcomputer

Komputer ini khususnya digunakan untuk single-user, biasa disebut juga dengan komputer desktop atau komputer pribadi (personal computer). Komputer ini sudah dirancang sedemikian rupa untuk mampu berinteraksi dengan penggunanya. Penggunaanya sangat populer pada penggunaan di rumah, atau untuk menjalankan aplikasi bisnis.

Engineering Workstation

Komputer ini lebih powerfull apabila dibandingkan dengan komputer pribadi, umumnya komputer ini digunakan untuk menjalankan aplikasi yang dipakai oleh para ahli teknik dalam melakukan perhitungan dan penyelesaian pekerjaannya. Aplikasi yang digunakan lebih cenderung kepada software yang banyak melakukan berbagai perhitungan, baik secara tiga dimensi, maupun secara matematika lainnya. Contoh aplikasi yang digunakan untuk komputer golongan ini adalah CAD (computer aided design) yang digunakan untuk melakukan perancangan gambar teknik.

Super Komputer

Komputer ini merupakan komputer paling bertenaga. Aplikasi yang digunakan biasanya lebih cenderung untuk penelitian ilmiah. Komputer ini biasanya memiliki beberapa prosesor sekaligus untuk menjalankan tugasnya. Superkomputer biasanya unggul dalam kecepataan dari komputer biasa dengan menggunakan desain inovatif yang membuat mereka dapat melakukan banyak tugas secara paralel, dan juga detail sipil yang rumit. Komputer ini biasanya menspesialisasikan untuk penghitungn tertentu, biasanya penghitungan angka, dan dalam tugas umumnya tidak bagus hasilnya.

Superkomputer digunakan untuk tugas penghitungan-intensif seperti prakiraan cuaca, riset iklim (termasuk riset pemanasan global, pemodelan molekul, simulasi fisik (seperti simulasi kapal terbang dalam terowongan angin, simulasi peledakan senjata nuklir, dan riset fusi nuklir), analisikrip, dll. Militer dan agensi sains salah satu pengguna utama superkomputer.

Mainframe

Pada tahap awal mulainya era komputerisasi, mainframe merupakan satu-satunya komputer yang ada pada waktu itu. Mainframe ini dapat melayani ratusan penggunanya pada saat yang bersamaan. Komputer ini mirip dengan minicomputer namun lebih besar dan lebih mahal. Penggunaannya umumnya untuk pengolahan data dari suatu divisi atau perusahaan besar, yang membutuhkan pengolahan yang cukup berat.

Minicomputer

Komputer mainframe sangat mahal dan hanya perusahaan besar yang mampu menggunakannya. Untuk membuat komputasi lebih tersedia, dibuat jenis komputer yang lebih kecil dari mainframe yang disebut dengan minicomputer, yang dikembangkan sejak tahun 60-an. Komputer jenis ini digunakan lebih luas daripada mainframe, karena alasan untuk mendapatkan yang tidak lebih mahal dari mainframe, tapi lebih mudah dalam pengoperasian dan pemeliharaan. Sekarang ini istilah minicomputer disamakan dengan server, karena peran utamanya adalah mengkoordinasi suatu jaringan komputer.

Personal Computer (PC)

Personal Computer atau PC adalah suatu perangkat komputer yang ditujukan untuk satu pengguna. Perangkatnya terdiri atas CPU, keyboard, monitor, dan mouse. Perangkat-perangkat tersebut dapat diringkas dalam satu meja, tidak terlalu banyak membutuhkan tempat. Komputer jenis ini paling banyak digunakan di berbagai tempat, seperti rumah, sekolah, kantor, dan sebagainya.

BERDASARKAN UKURAN DAN BENTUK FISIK KOMPUTER BERDASARKAN PENGGUNAANNYA

Tower

Tower biasanya ditaruh di samping atau di bawah meja karena ukurannya yang relatif besar, sehingga memenuhi meja. Komputer ini banyak memiliki ruang yang bisa dipakai untuk tempat memasang card tambahan, sehingga bisa ditambahkan dengan berbagai perangkat tambahan.

Desktop

Desktop adalah komputer pribadi yang ditujukan untuk penggunaan secara umum di satu lokasi yang berlawanan dengan komputer jinjing atau komputer portabel. Periferal-periferal Desktop seperti tampilan komputer, CPU, dan papan ketik terpisah satu sama lain dan relatif berukuran besar (juga berlawanan dengan periferal pada komputer jinjing yang terintegrasi dan berukuran kecil). Komputer jenis ini dirancang untuk diletakkan dan digunakan di atas meja di rumah atau kantor. Desktop merupakan komputer yang paling terjangkau dan paling umum digunakan.

Portable

Portable adalah ukuran komputer yang lebih kecil sehingga mudah dibawa dengan kemampuan yang sama atau lebih powerful. Yang termasuk dalam jenis portable computer adalah Notebook, Laptop, dan handheld computer. Keuntungan utama penggunaan portable computer adalah tidak harus digunakannya pada tempat yang sama sepanjang waktu, karena komputer jenis ini mudah dibawa kemana saja. Komputer Notebook/Laptop cukup muat untuk dimasukkan dalam tas dan dapat dijalankan dengan battery. Dapat juga dihubungkan dengan modem sehingga dapat mengakses LAN atau Internet, Handheld computer didesain untuk dapat diintegrasikan dengan sistem desktop, sehingga peralatan ini dapat dengan mudah mengambil data dan berkomunikasi lewat sambungan telpon.

Notebook

Notebook adalah komputer bergerak yang berukuran relatif kecil dan ringan, beratnya berkisar dari 1-6 kg, tergantung ukuran, bahan, dan spesifikasi laptop tersebut.

Sumber daya komputer jinjing berasal dari baterai atau adaptor A/C yang dapat digunakan untuk mengisi ulang baterai dan menyalakan laptop itu sendiri. Baterai laptop pada umumnya dapat bertahan sekitar 1 hingga 6 jam sebelum akhirnya habis, tergantung dari cara pemakaian, spesifikasi, dan ukuran baterai.

Sebagai komputer pribadi, laptop memiliki fungsi yang sama dengan komputer destop pada umumnya. Komponen yang terdapat di dalamnya sama persis dengan komponen pada destop, hanya saja ukurannya diperkecil, dijadikan lebih ringan, lebih tidak panas, dan lebih hemat daya. Komputer jinjing kebanyakan menggunakan layar LCD (Liquid Crystal Display) berukuran 10 inci hingga 17 inci tergantung dari ukuran laptop itu sendiri. Selain itu, papan ketik yang terdapat pada laptop juga kadang-kadang dilengkapi dengan papan sentuh yang berfungsi sebagai “pengganti” tetikus. Papan ketik dan tetikus tambahan dapat dipasang melalui soket USB maupun PS/2 jika tersedia.

Berbeda dengan komputer destop, komputer jinjing memiliki komponen pendukung yang didesain secara khusus untuk mengakomodasi sifat komputer jinjing yang portabel. Sifat utama yang dimiliki oleh komponen penyusun laptop adalah ukuran yang kecil, hemat konsumsi energi, dan efisien. Komputer jinjing biasanya berharga lebih mahal, tergantung dari merek dan spesifikasi komponen penyusunnya, walaupun demikian harga komputer jinjing pun semakin mendekati destop seiring dengan semakin tingginya tingkat permintaan konsumen.

Subnotebook

Ukuran subnotebook berada diantara notebook dan palmtop. Ukuran subnotebook ini bisa lebih kecil dari laptop karena pada komputer jenis ini ada sebagian perangkat yang tidak dipasang.

Palmtop

Palmtop adalah komputer yang bisa digenggam. Ukurannya sangat kecil jika dibandingkan dengan komputer lainnya. Komputer jenis ini juga sering disebut dengan handheld computer, Karena bisa digenggam tangan.

BERDASARKAN PENGGUNAANNYA

Special Purpose Computer

Special purpose computer berarti komputer untuk keperluan khusus. Komputer ini dirancang hanya untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Perangkat yang ada pada komputer ini, baik komponen input, output, pemroses serta softwarenya telah dirancang untuk keperluan tersebut. Biasanya software yang mengendalikan proses sudah berada langsung pada sistem. Contoh dari Special Purpose Computer ini adalah komputer yang digunakan untuk kasir pada supermarket.

General Purpose Computer

Merupakan komputer yang dibuat untuk keperluan secara umum, sehingga komputer tersebut dapat digunakan untuk mengerjakan berbagai macam pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan usernya. Personal Computer merupakan salah satu contoh dari kategori ini.

Komputer Berdasarkan Skala Kemampuannya

Berikut ini kategori komputer yang dilihat berdasarkan kemampuannya untuk memproses, baik dalam melayani user, pemrosesan aplikasi, dan kemampuan untuk melaksanakan tugas dalam banyak hal sekaligus pada saat bersamaan.

Small Scale Computer

Komputer skala kecil, merupakan komputer yang memiliki kemampuan proses dalam jumlah kecil. Komputer yang termasuk ke dalam kategori ini adalah komputer desktop atau komputer pribadi yang umumnya digunakan oleh satu orang pada satu saat.

Medium Scale Computer

Komputer untuk skala menengah. Komputer yang termasuk ke dalam kategori ini adalah komputer mini, yang biasanya melayani penggunanya pada dumb terminal .

Large Scale Computer

Komputer untuk skala besar. Komputer yang termasuk ke dalam kategori ini adalah komputer mainframe. Pada mesin tersebut dapat diakses beramai-ramai, dan sudah dilengkapi dengan perangkat dan software yang lengkap. Penggunaannya pun adalah untuk pengolahan perhitungan dengan kemampuan yang cukup rumit untuk diselesaikan oleh komputer medium dan small.

»»  Silahkan Lanjut...